Palu nan berkesan
Ke Sulawesi? Palu?
Suatu kenangan yang tidak terlupakan. Niat untuk mengunjungi pulau tersebut Alhamdulillah telah terlaksana.
Banyak sekali hal-hal yang menarik terjadi selama satu minggu aku di sana. Ya, tepatnya di Kota Palu.
Bertemu dengan anak-anak Mahacita Gawalise (Perkumpulan mahasiswa pecinta alam STIE Panca Bhakti Palu) adalah suatu pertemuan yang sangat berkesan.
Sebenarnya awal tujuan ke Palu adalah untuk keperluan riset rotan. Riset sekalian jelajah Palu, kira-kira begitu, hehehee. Waktu seminggu yang dialokasikan ternyata sangat kurang. Belum sempat kesana-kemari, kuliner sana-sini, eeh sudah mesti kembali ke Bogor. Tapi gpp, mungkin di lain waktu ada kesempatan lagi..
Oke, ceritanya dimulai saja..
Hari pertama tiba di Palu, sudah malam sekali, sekitar pukul 23.00 WITA. Langsung dijemput teman-teman Mahacita untuk diungsikan ke sekret mereka. Sempat diajak berkeliling kota Palu sebentar, melewati Pantai Talise, melewati jembatan kembar kebanggaan Palu, jajanan lelaki Palu, dan memandangi G.Gawalise diwaktu malam. Setelah berkeliling, aku langsung beranjak ke rumah Nana, teman dari Mahacita.
Keesokan harinya, bertepatan dengan aksi sosial teman-teman Mahacita untuk menyerahkan bantuan bencana longsor ke daerah Kulawi, maka aku pun ikutserta. Sekitar pukul 12.00 WITA berangkatlah rombongan menuju Kulawi. Perjalanan cukup panjang kira-kira 2 jam kami lalui, tidak terasa lama bagi saya, karena selama perjalanan dimanjakan oleh panorama daerah Palu, maklum baru pertama kali, hehehee. Daerah-daerah yang saya ingat yaitu pemandangan Gunung Nokilalaki dan jalur masuk danau Lindu. Huah.. Ingin sekali rasanya mampir. Terutama Danau Lindu, yang merupakan danau yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu. Setelah melewati daerah ini, jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok, khas pegunungan. Kalau di Bogor terasa seperti jalanan Puncak, bedanya jalannya lebih sempit dan hutannya yang masih terasa sekali. Bosan dengan duduk manis di mobil, saya pun minta pindah ke motor dan diboncengi oleh Dior. Nah, dibonceng begini baru terasa di pegunungannya. Udara lebih sejuk dan jalanan berbatu-batu. Tidak lama kemudian tibalah kami di lokasi bencana. Whaaaw.. Merinding saya melihatnya. batu-batu seukuran rumah menimpa pemukiman warga, banyak rumah yang rata dengan tanah, dan beberapa lagi tinggal atapnya saja. Sebanyak 6 orang warga meninggal akibat bencana ini.
Hari selanjutnya kami lalui dengan melakukan riset rotan, diantaranya dengan wawancara langsung dengan petani rotan. Perjalanan yang sangat melelahkan. Butuh waktu sekitar 3 jam berkendara untuk tiba di lokasi, yaitu Desa Gunung Potong, Tangoa, Palolo. Desa ini terletak di kaki Gunung Nokilalaki. Malam saat ngobrol dengan petani terasa hawanya dingin sekali. Lebih dingin dari Puncak sepertinya. Satu hal yang sangat berkesan, yaitu sajian makan malamnya. Tau umbut kelapa? nah umbut kelapa yang rasanya seperti rebung dipotong-potong, kemudian disayur kuah dengan ikan segar. Wuahh terasa sekali sedapnya. Saya sampai nambah 2 kali. Mantap! Setelah makan lanjut dengan sagero/ saguer, minuman dari nira yang sudah difermentasi. Rasanya agak pahit dan beralkohol, wajar saja baru minum sedikit perut rasanya langsung panas, hahahhaaa..
Malam berkesan lainnya, nongkrong di Pantai Talise. Pemandangan kerlap-kerlip Kota Palu dengan jembatan kembarnya, udara semilir, pisang bakar, dan minuman khas Palu (mirip bandrek). Sambil ngobrol ngalur ngidul dengan teman-teman. Segaaaaaaaar..
Coto Maros, nah ini lagi. Kuah kental dengan potongan daging sesuai selera. Pembeli bisa memilih sendiri mau bagian apa, ada usus, gajih, hati, daging, babat, dll. Tapi, saya milih daging saja. Ya ampuun, rasanya mantap banget. Gurih dan segar. Makannya agak unik, ketupatnya dimasukkan langsung ke dalam mangkok, jadi makan nasi bareng kuahnya sekaligus, hhhaa.. harganya cukup murah lagi, cukup Rp. 15.000 saja kita bisa menikmati coto sampai kenyang...
Oia, dilain waktu, saya juga berkesempatan menyicipi Uvem poi. Apa ya.. sejenis soto juga, tapi rasanya kaldu banget dan pedas. Isinya potongan babat sapi gitu. makannya bareng nasi jagung. Nah ini yang unik. Nasi jagungnya itu, jarang sekali ada di Bogor. Makannya di kebun langsung, di kaki Gunung Gawalise. Terimakasih Kak Man jamuan Uvem poinya..
Trus, saya juga kesampaian nyobain Binte, sejenis makanan khas daerah sana. Mirip bubur jagung pipil. Enak. Satu-satunya hal yang agak menggelitik di Palu adalah oleh-oleh khasnya itu cuma bawang goreng dan kayu hitam/ eboni. Bisa kebayang, oleh-olehnya cuma itu, hhahaa..
Memang kata-kata itu tidak cukup untuk menggambarkan semua yang dialami/ rasakan. Saya sertakan foto juga agaknya kurang mewakili. Tapi gpp, biar saya katakan: Palu sangat mengesankan. Kotanya, kulinernya, teman-temannya, sampai oleh-olehnya, hehhee.
Very very special thanks for teman-teman Mahacita Gawalise, Nana, K Nancy, K Yuli, Dior, K Man, K Budjel, Aldy, K Kunil, Amar, K Embong, K Polo, K Ari, K Bukor, dll; Mapascal, Gagak, Alo, Kadal, Kelabang, Muti-lasi, dll yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Akhirnya dengan berat hati, setelah satu minggu full di sana, saya harus kembali ke Bogor.
Bye-bye Palu
Sebenarnya masih penasaran dengan sayur kelornya :(
Suatu kenangan yang tidak terlupakan. Niat untuk mengunjungi pulau tersebut Alhamdulillah telah terlaksana.
Banyak sekali hal-hal yang menarik terjadi selama satu minggu aku di sana. Ya, tepatnya di Kota Palu.
Bertemu dengan anak-anak Mahacita Gawalise (Perkumpulan mahasiswa pecinta alam STIE Panca Bhakti Palu) adalah suatu pertemuan yang sangat berkesan.
Sebenarnya awal tujuan ke Palu adalah untuk keperluan riset rotan. Riset sekalian jelajah Palu, kira-kira begitu, hehehee. Waktu seminggu yang dialokasikan ternyata sangat kurang. Belum sempat kesana-kemari, kuliner sana-sini, eeh sudah mesti kembali ke Bogor. Tapi gpp, mungkin di lain waktu ada kesempatan lagi..
Oke, ceritanya dimulai saja..
Hari pertama tiba di Palu, sudah malam sekali, sekitar pukul 23.00 WITA. Langsung dijemput teman-teman Mahacita untuk diungsikan ke sekret mereka. Sempat diajak berkeliling kota Palu sebentar, melewati Pantai Talise, melewati jembatan kembar kebanggaan Palu, jajanan lelaki Palu, dan memandangi G.Gawalise diwaktu malam. Setelah berkeliling, aku langsung beranjak ke rumah Nana, teman dari Mahacita.
Keesokan harinya, bertepatan dengan aksi sosial teman-teman Mahacita untuk menyerahkan bantuan bencana longsor ke daerah Kulawi, maka aku pun ikutserta. Sekitar pukul 12.00 WITA berangkatlah rombongan menuju Kulawi. Perjalanan cukup panjang kira-kira 2 jam kami lalui, tidak terasa lama bagi saya, karena selama perjalanan dimanjakan oleh panorama daerah Palu, maklum baru pertama kali, hehehee. Daerah-daerah yang saya ingat yaitu pemandangan Gunung Nokilalaki dan jalur masuk danau Lindu. Huah.. Ingin sekali rasanya mampir. Terutama Danau Lindu, yang merupakan danau yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu. Setelah melewati daerah ini, jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok, khas pegunungan. Kalau di Bogor terasa seperti jalanan Puncak, bedanya jalannya lebih sempit dan hutannya yang masih terasa sekali. Bosan dengan duduk manis di mobil, saya pun minta pindah ke motor dan diboncengi oleh Dior. Nah, dibonceng begini baru terasa di pegunungannya. Udara lebih sejuk dan jalanan berbatu-batu. Tidak lama kemudian tibalah kami di lokasi bencana. Whaaaw.. Merinding saya melihatnya. batu-batu seukuran rumah menimpa pemukiman warga, banyak rumah yang rata dengan tanah, dan beberapa lagi tinggal atapnya saja. Sebanyak 6 orang warga meninggal akibat bencana ini.
Suasana bencana longsor Kulawi |
Malam berkesan lainnya, nongkrong di Pantai Talise. Pemandangan kerlap-kerlip Kota Palu dengan jembatan kembarnya, udara semilir, pisang bakar, dan minuman khas Palu (mirip bandrek). Sambil ngobrol ngalur ngidul dengan teman-teman. Segaaaaaaaar..
Coto Maros, nah ini lagi. Kuah kental dengan potongan daging sesuai selera. Pembeli bisa memilih sendiri mau bagian apa, ada usus, gajih, hati, daging, babat, dll. Tapi, saya milih daging saja. Ya ampuun, rasanya mantap banget. Gurih dan segar. Makannya agak unik, ketupatnya dimasukkan langsung ke dalam mangkok, jadi makan nasi bareng kuahnya sekaligus, hhhaa.. harganya cukup murah lagi, cukup Rp. 15.000 saja kita bisa menikmati coto sampai kenyang...
Oia, dilain waktu, saya juga berkesempatan menyicipi Uvem poi. Apa ya.. sejenis soto juga, tapi rasanya kaldu banget dan pedas. Isinya potongan babat sapi gitu. makannya bareng nasi jagung. Nah ini yang unik. Nasi jagungnya itu, jarang sekali ada di Bogor. Makannya di kebun langsung, di kaki Gunung Gawalise. Terimakasih Kak Man jamuan Uvem poinya..
Uvem poi dengan nasi jagung |
Memang kata-kata itu tidak cukup untuk menggambarkan semua yang dialami/ rasakan. Saya sertakan foto juga agaknya kurang mewakili. Tapi gpp, biar saya katakan: Palu sangat mengesankan. Kotanya, kulinernya, teman-temannya, sampai oleh-olehnya, hehhee.
Very very special thanks for teman-teman Mahacita Gawalise, Nana, K Nancy, K Yuli, Dior, K Man, K Budjel, Aldy, K Kunil, Amar, K Embong, K Polo, K Ari, K Bukor, dll; Mapascal, Gagak, Alo, Kadal, Kelabang, Muti-lasi, dll yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Sayonara Mahacita Gawalise |
Akhirnya dengan berat hati, setelah satu minggu full di sana, saya harus kembali ke Bogor.
Bye-bye Palu
Sebenarnya masih penasaran dengan sayur kelornya :(
Komentar
Posting Komentar