Menyapa Negeriku Ende, NTT.
Kami bertujuh, sekarang tim tujuh serangkai, salah satu dari
tim Menyapa Negeriku, telah tiba dengan selamat dan bersemangat di Desa
Kebesani, Kab. Detukeli, Ende, NTT. Kami akan berkegiatan di sini dari tanggal
1 sampai dengan 5 Desember 2015. Kami yang dinyatakan terpilih untuk mengikuti
kegiatan dari Kemenristek Dikti ini tidak berhenti bersyukur atas kesempatan
yang diberikan. Pary, Wahyu, Anto, Robin, Nisa, Nadia dan saya sendiri telah
tidak sabar untuk melihat matahari besok pagi.
Namun, badan yang letih dan perut kenyang belum juga melelapkan
saya saat itu. Pikiran melayang ke bagaimana kami semua memulai perjalanan ini.
Dua malam sebelumnya, sangat tergesa-gesa setelah bertemu muka dengan Bapak
Menteri Ristek Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak. saat membuka acara Menyapa Negeriku kami berangkat ke Bandara
Soekarno-Hatta. Kami tim pertama yang diberangkatkan menuju lokasi kegiatan.
Sementara sepuluh tim lainnya masih menunggu jadwal. Pukul 1 dini hari kami
tiba di bandara Denpasar. An
unforgettable moment starts from here. Kami bertujuh beristirahat di dalam
ruangan kecil ber-AC ditemani mesin-mesin ATM. Tidak mengindahkan orang
sekitar, kami sukses beristirahat di lantai, berbaring dengan tenang. Pukul 6
pagi tim berangkat menuju Labuan Bajo dan tujuan akhir Ende.
Sekitar pukul 9 Pagi kami tiba di Ende dan langsung
disambut oleh belasan teman-teman SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal). Momen yang sangat mengharukan, ternyata mereka telah
mempersiapkan kedatangan kami dari jauh-jauh hari. Kami disambut dengan meriah
dan merekapun nantinya menemani seluruh perjalanan kami. Kami mengunjungi Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) di sore itu untuk mendapatkan izin dan
arahan teknis dari Bapak Kepala Dinas. Kemudian bertukarpikiran dengan
teman-teman SM-3T di Lapangan Perse atau Pancasila. Konon, lapangan ini merupakan
tempat Soekarno mendapatkan inspirasi dari pohon sukun yang bercabang lima.
Inspirasi yang melahirkan lima butir Pancasila.
Di hari ke dua, kami berangkat menuju lokasi kegiatan. Kami
menumpang oto, mobil bak pikap yang dimodifikasi dan dilengkapi kursi penumpang
dan atap. Masih ku ingat, perjalanan diawal sangat menyenangkan karena jalanan
mulus dan musik favorit dari speaker
oto yang kencang. Kamipun bernyanyi sepanjang perjalanan. Tidak ada gedung
menjulang atau tugu megah selamat datang. Namun, perbukitan, lembah curam,
kelokan tajam, persawahan, dan rumah-rumah adat. Pemandangan yang paling tidak
biasa adalah banyaknya sapi, kambing hingga kuda di bahu jalan yang tidak
diikat sedang mencari makan. Pemandangan yang tidak mungkin dilihat di kota
besar apalagi Jakarta.
Lalu perjalanan semakin berat. Jalan menyempit, berkelok,
berlubang, dan curam. Perut kami mulai mual dan badan berkeringat dingin. Tapi
udara bersih dan sejuk lumayan membantu menyegarkan badan hingga akhirnya sekitar
pukul 11 siang kami tiba di SMKN 6 Pertanian Wolobheto. Tidak disangka
masyarakat telah berkumpul untuk menyambut kami. Sangat luar biasa mereka berdiri
berjajar dengan wajah penuh senyuman. Tarian dan musik khas Ende mengiringi
langkah-langkah kami menuju ke dalam lapangan sekolah.
Sesekali kulihat wajah
adik-adik di desa ini. Ada yang berseragam merah-putih dan putih-abu. Keharuan
mulai menyeruak di dalam diri. Adik-adik SD bermata indah dengan wajah penasaran
menatap kami heran.
“Siapakah mereka?”
“Mengapa mereka ada di sini?”
“Apa yang akan mereka lakukan?”
Tanpa mereka tau, aku
pun melemparkan pertanyaan,
“Kenapa merah dan putih seragam mereka berwarna lumpur?”
“Kemana alas kaki mereka?”
“Dan apakah mereka datang meminta jawaban atas keadaan ini?”
Kami terlarut dalam suasana.
“Terimakasih karena
telah datang ke desa kami yang terpencil ini”, isak Ibu Ketua Panitia dalam
sambutannya.
Tangisan tulus Ibu tersebut karena kedatangan kami pun bersamaan
dengan turunnya hujan deras di desa itu. Kami telah lupa berkata-kata, syukur
kami kepada Tuhan atas penyambutan yang sangat istimewa itu.
Malam itupun semakin dingin, namun pikiranku meluas tak
terbendung. Mungkin Nisa dan Nadia di kamar depan sudah lelap tertidur. Kuraih
telepon genggam di sebelahku, tak ada pesan sms, whatsapp, ataupun telepon yang
masuk. Sinyal komunikasi XL putus total. Semakin ingatlah bahwa aku sedang
berada di tengah-tengah perbukitan Kampung Wolobheto.
Saat sore tadi kami berkumpul di lapangan sekolah SMKN 6.
Kami saling bertukar pikiran tentang pertanian. Para siswa, guru-guru hingga
masyarakat sekitar turut serta. Sangat senang rasanya berkesempatan berbagi
ilmu pertanian yang aku pelajari selama kuliah di IPB dan megang di Amerika.
Para guru sangat aktif bertanya tentang masalah-masalah pertanian mereka. Mereka
sungguh haus akan informasi. Saya mencoba menjawab semampu saya di tekhnis
budidaya dan permasalahan hama penyakit. Beruntung anggota tim lain memahami tentang
kebijakan pemerintah, managemen pemasaran dan pengelolaan hasil panen. Diskusi
berlangsung lancar. Kemudian kami melakukan praktek memilih benih dan menanam
cabai yang benar. Ibu-ibu sekitar terlihat bersemangat.
Selesai diskusi, kami kembali lagi ke rumah penduduk. Oh ya,
Cuma ada satu kamar mandi yang bisa kami gunakan. Satu per satu dari kami mulai
antri. Aku kebagian saat hari gelap. Airnya segar dan dingin sekali. Selesai
mandi saat menuju ke dalam kamar, adik-adik kecil dengan malu-malu berkata
padaku.
“Ibu, main yuk”? Tanya mereka.
“Main apa”? jawabku.
“Apa saja” jawab mereka.
“Gimana kalau kita belajar saja”? Tanyaku lagi.
“Ayo Ibu”. Jawab mereka dengan semangat. Mereka pun
berlarian mengambil alat tulis mereka.
Adik-adik ini walaupun aku menyebut panggil “kakak” saja
tapi mereka tetap memanggil “Ibu”. Mungkin terbiasa dengan panggilan Ibu Guru.
Baiklah.
Tak lama berselang, Robin, Nadia, dan Nisa juga turut
bergabung. Kamipun belajar berhitung dalam Bahasa Inggris dengan penerangan yang
seadanya dari senter yang kami bawa. Ya, belum ada aliran listrik di daerah
ini. Mereka sangat senang karena kami memberikan materi dengan permainan/ games
sehingga mudah diingat. Tidak terasa waktu berjalan. Waktunya makan malam.
Kebiasaan menarik masyarakat sini adalah semua orang harus hadir saat makan.
Setiap orang ditunggu agar makannya bersama-sama. Akhirnya kami pun baru makan
malam lewat jam 10 malam. Makanya sampai dini hari perut masih kenyang.
Oh ya, menu makanan di sini juga unik. Mereka memanfaatkan
bahan-bahan alami dari sekitar. Beras merah, pisang, daun pakis, singkong, daun
singkong, ubi, ikan, dan ayam. Mereka mengolah bahan-bahan tersebut dengan
sangat sederhana. Sebagian besar hanya direbus dengan sedikit bumbu-bumbu. Namun,
sambalnya luar biasa sedap. Kopi lokal dan teh hangat juga selalu hadir
disetiap acara. Tidak heran warga di sini bisa berumur panjang dan sehat.
Di hari ke tiga kami tim tujuh serangkai dan teman-teman
SM-3T bergegas menuju ke SMKN 6 lagi. Robin memulai permainan/ games dengan
anak-anak SMK. Suasana heboh terlihat di tengah lapangan karena mereka bersemangat
dan menikmati permainannya. Setelah games
selesai dan suasana kondusif, Robin kemudian banyak memotivasi mereka tentang
pentingnya bermimpi dan mewujudkan mimpi tersebut. Robin juga bercerita tentang
perjuangannya mengejar impiannya. Tidak lupa kami juga memasukkan pesan-pesan
moral di dalamnya.
Sementara itu, Nadia dan Nisa juga bergerak ke SD Inpres
Feoria dan SDK Fungapanda. Mereka berangkat lebih dulu karena siswa di sana
telah menunggu mereka. Mereka mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan
dengan cuci tangan dan gosok gigi. Mereka memulainya dengan games interaktif dengan para siswa dan
bernyanyi bersama. Sangat menyenangkan.
Kemudian kami yang tertinggal dari SMKN 6 juga datang
mengunjungi SD Inpres Feoria dan SDK Fungapanda. Di SD Inpres Feoria kami disuguhkan
pemandangan mengharukan. Bangunan sekolahnya tanpa lantai dan berjendela bilah bambu.
Tidak ada bel sekolah, kamar mandi, kantin apalagi pekarangan berbunga. Jumlah
keseluruhan siswanya juga hanya 29 orang. Banyak siswanya yang tidak beralas
kaki dan berbaju lusuh. Hal yang sangat menyentuh adalah saat mereka bernyanyi “Terimakasih
Guruku” untuk kami. Saya pribadi rasanya tidak kuat menahan air mata. Kekompakkan
dan lantangnya suara mereka serta sinar mata yang tajam menyiratkan semangat
mereka. Semangat untuk terus belajar dan bermimpi akan hidup yang lebih baik.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke SDK Fungapanda
ditemani oleh hujan rintik. Perjalanan panjang berjalan kaki walau melelahkan
kami lalui dengan semangat. Setelah sekitar setengah jam perjalanan kami
akhirnya tiba di SDK Fungapanda. Di sekolah ini, bangunan sekolahnya sudah
sangat baik. Para siswanya pun sudah berseragam semua. Sementara tim lain
berinteraksi dengan anak-anak, saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan
Bapak Musalaki (Kepala Adat) Fungapanda. Beliau banyak bercerita tentang
keadaan desa dan warganya. Beliau juga menyampaikan bahwa sulit sekali untuk
mendapatkan informasi akurat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Demikian juga
dengan hasil panen yang dibeli murah oleh tengkulak. Walaupun sudah berumur
tua, namun beliau masih memikirkan masa depan warganya.
Hari itu kami mendapatkan banyak pengalaman berharga. Betapa
kami harus banyak bersyukur atas kesempatan mengunjungi mereka. Mereka yang
terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka anak-anak
bangsa yang tanpa lelah berjalan kaki 4-6 KM untuk sampai ke sekolah. Mereka yang
tidak beralas kaki, berbaju lusuh, dan berbau lumpur. Mereka yang tidak
mengenal bel sekolah, perpustakaan apalagi laboratorium. Mereka yang semangat dengan
penuh keterbatasan. Mereka juga berhak atas mimpi dan cita-cita pendidikan yang
lebih baik.
Malam harinya adalah malam kedua sekaligus terakhir kami di
Kampung Wolobheto. Kembali setelah mengajar anak-anak Bahasa Inggris kami bertukar
pikiran dan semacam malam perpisahan dengan warga sekitar. Mereka mengucapkan
rasa terimakasihnya kepada kami yang telah berkunjung ke sana. Kami pun
berterimakasih atas sambutan yang luar biasa dan sudah dianggap seperti kelurga
bagi mereka.
Kami bersama-sama merencanakan untuk membuat perpustakaan desa.
Lebih jauhnya perpustakaan ini bisa menjadi pusat informasi warga. Hal ini
terinspirasi dari semangat anak-anak untuk belajar dan hausnya para warga akan
informasi. Saat ini tim tujuh serangkai baru memulai untuk menyebar poster
kepada semua pihak yang ingin menyumbangkan bukunya. Kemudian untuk tekhnis
pengelolaan akan dibantu oleh teman-teman SM-3T Ende. Kami dari tim tujuh
serangkai berharap perpustakaan ini menjadi kepanjangan kasih sayang kami kepada
keluarga baru di sana.
Hari selanjutnya kami, teman-teman SM-3T, dan sebagian warga
bersama-sama menuju Danau Kelimutu. Danau yang terkenal di mancanegara karena
keunikan airnya yang berubah-rubah warna. Syukur tidak henti kami ucapkan. Dulu
hanya bisa menatap danau ini di pecahan uang lima ribu rupiah, tapi kini bisa
menatapnya langsung.
Memang benar kata pepatah “Indonesia adalah negara yang bisa
membuat kita jatuh cinta dan patah hati di waktu yang sama”. Jatuh cinta karena
keindahannya dan patah hati karena harus meninggalkannya untuk pergi ke
rutinitas semula.
Kegiatan Menyapa Negeriku Ende walaupun hanya satu minggu
tapi memberikan kesan yang tidak terlupakan. Teman-teman baru yang berprestasi,
keluarga baru, kesempatan berbagi inspirasi dan pengalaman, hingga pelajaran
untuk selalu bersyukur dan tidak banyak mengeluh. Indonesia adalah negara yang sangat
istimewa dari keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Namun, setiap dari kita
punya hak atas pendidikan yang lebih baik.
I LOVE INDONESIA!
Komentar
Posting Komentar