Menyapa Negeriku Ende, NTT.



Malam yang dingin diantara perbukitan Kampung Wolobheto menemaniku bercakap-cakap dengan diri sendiri. Malam itu adalah malam pertama saya dan tim bermalam di salah satu rumah penduduk. Terisolasi dari kegaduhan dan sinar lampu yang menyilaukan. Kamar tempat saya berbaring hanya diterangi lampu teplok. Temaram, tapi saya merasa aman, kelambu tipis dan kasur, serta sarung tidur yang saya bawa jauh dari Belitung menghangatkan. Sesekali terdengat suara babi yang diternakkan Bapak pemilik rumah di kolong rumahnya, menemani malam yang penuh kenangan.

Kami bertujuh, sekarang tim tujuh serangkai, salah satu dari tim Menyapa Negeriku, telah tiba dengan selamat dan bersemangat di Desa Kebesani, Kab. Detukeli, Ende, NTT. Kami akan berkegiatan di sini dari tanggal 1 sampai dengan 5 Desember 2015. Kami yang dinyatakan terpilih untuk mengikuti kegiatan dari Kemenristek Dikti ini tidak berhenti bersyukur atas kesempatan yang diberikan. Pary, Wahyu, Anto, Robin, Nisa, Nadia dan saya sendiri telah tidak sabar untuk melihat matahari besok pagi.

Namun, badan yang letih dan perut kenyang belum juga melelapkan saya saat itu. Pikiran melayang ke bagaimana kami semua memulai perjalanan ini. Dua malam sebelumnya, sangat tergesa-gesa setelah bertemu muka dengan Bapak Menteri Ristek Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak. saat membuka acara Menyapa Negeriku kami berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Kami tim pertama yang diberangkatkan menuju lokasi kegiatan. Sementara sepuluh tim lainnya masih menunggu jadwal. Pukul 1 dini hari kami tiba di bandara Denpasar. An unforgettable moment starts from here. Kami bertujuh beristirahat di dalam ruangan kecil ber-AC ditemani mesin-mesin ATM. Tidak mengindahkan orang sekitar, kami sukses beristirahat di lantai, berbaring dengan tenang. Pukul 6 pagi tim berangkat menuju Labuan Bajo dan tujuan akhir Ende.

Sekitar pukul 9 Pagi kami tiba di Ende dan langsung disambut oleh belasan teman-teman SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Momen yang sangat mengharukan, ternyata mereka telah mempersiapkan kedatangan kami dari jauh-jauh hari. Kami disambut dengan meriah dan merekapun nantinya menemani seluruh perjalanan kami. Kami mengunjungi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) di sore itu untuk mendapatkan izin dan arahan teknis dari Bapak Kepala Dinas. Kemudian bertukarpikiran dengan teman-teman SM-3T di Lapangan Perse atau Pancasila. Konon, lapangan ini merupakan tempat Soekarno mendapatkan inspirasi dari pohon sukun yang bercabang lima. Inspirasi yang melahirkan lima butir Pancasila.


Di hari ke dua, kami berangkat menuju lokasi kegiatan. Kami menumpang oto, mobil bak pikap yang dimodifikasi dan dilengkapi kursi penumpang dan atap. Masih ku ingat, perjalanan diawal sangat menyenangkan karena jalanan mulus dan musik favorit dari speaker oto yang kencang. Kamipun bernyanyi sepanjang perjalanan. Tidak ada gedung menjulang atau tugu megah selamat datang. Namun, perbukitan, lembah curam, kelokan tajam, persawahan, dan rumah-rumah adat. Pemandangan yang paling tidak biasa adalah banyaknya sapi, kambing hingga kuda di bahu jalan yang tidak diikat sedang mencari makan. Pemandangan yang tidak mungkin dilihat di kota besar apalagi Jakarta.

Lalu perjalanan semakin berat. Jalan menyempit, berkelok, berlubang, dan curam. Perut kami mulai mual dan badan berkeringat dingin. Tapi udara bersih dan sejuk lumayan membantu menyegarkan badan hingga akhirnya sekitar pukul 11 siang kami tiba di SMKN 6 Pertanian Wolobheto. Tidak disangka masyarakat telah berkumpul untuk menyambut kami. Sangat luar biasa mereka berdiri berjajar dengan wajah penuh senyuman. Tarian dan musik khas Ende mengiringi langkah-langkah kami menuju ke dalam lapangan sekolah. 


Sesekali kulihat wajah adik-adik di desa ini. Ada yang berseragam merah-putih dan putih-abu. Keharuan mulai menyeruak di dalam diri. Adik-adik SD bermata indah dengan wajah penasaran menatap kami heran.
“Siapakah mereka?”
“Mengapa mereka ada di sini?”
“Apa yang akan mereka lakukan?”
 Tanpa mereka tau, aku pun melemparkan pertanyaan,
“Kenapa merah dan putih seragam mereka berwarna lumpur?”
“Kemana alas kaki mereka?”
“Dan apakah mereka datang meminta jawaban atas keadaan ini?”


Kami terlarut dalam suasana.

 “Terimakasih karena telah datang ke desa kami yang terpencil ini”, isak Ibu Ketua Panitia dalam sambutannya.
Tangisan tulus Ibu tersebut karena kedatangan kami pun bersamaan dengan turunnya hujan deras di desa itu. Kami telah lupa berkata-kata, syukur kami kepada Tuhan atas penyambutan yang sangat istimewa itu.

Malam itupun semakin dingin, namun pikiranku meluas tak terbendung. Mungkin Nisa dan Nadia di kamar depan sudah lelap tertidur. Kuraih telepon genggam di sebelahku, tak ada pesan sms, whatsapp, ataupun telepon yang masuk. Sinyal komunikasi XL putus total. Semakin ingatlah bahwa aku sedang berada di tengah-tengah perbukitan Kampung Wolobheto.

Saat sore tadi kami berkumpul di lapangan sekolah SMKN 6. Kami saling bertukar pikiran tentang pertanian. Para siswa, guru-guru hingga masyarakat sekitar turut serta. Sangat senang rasanya berkesempatan berbagi ilmu pertanian yang aku pelajari selama kuliah di IPB dan megang di Amerika. Para guru sangat aktif bertanya tentang masalah-masalah pertanian mereka. Mereka sungguh haus akan informasi. Saya mencoba menjawab semampu saya di tekhnis budidaya dan permasalahan hama penyakit. Beruntung anggota tim lain memahami tentang kebijakan pemerintah, managemen pemasaran dan pengelolaan hasil panen. Diskusi berlangsung lancar. Kemudian kami melakukan praktek memilih benih dan menanam cabai yang benar. Ibu-ibu sekitar terlihat bersemangat.




Selesai diskusi, kami kembali lagi ke rumah penduduk. Oh ya, Cuma ada satu kamar mandi yang bisa kami gunakan. Satu per satu dari kami mulai antri. Aku kebagian saat hari gelap. Airnya segar dan dingin sekali. Selesai mandi saat menuju ke dalam kamar, adik-adik kecil dengan malu-malu berkata padaku.

“Ibu, main yuk”? Tanya mereka.
“Main apa”? jawabku.
“Apa saja” jawab mereka.
“Gimana kalau kita belajar saja”? Tanyaku lagi.
“Ayo Ibu”. Jawab mereka dengan semangat. Mereka pun berlarian mengambil alat tulis mereka.

Adik-adik ini walaupun aku menyebut panggil “kakak” saja tapi mereka tetap memanggil “Ibu”. Mungkin terbiasa dengan panggilan Ibu Guru. Baiklah.



Tak lama berselang, Robin, Nadia, dan Nisa juga turut bergabung. Kamipun belajar berhitung dalam Bahasa Inggris dengan penerangan yang seadanya dari senter yang kami bawa. Ya, belum ada aliran listrik di daerah ini. Mereka sangat senang karena kami memberikan materi dengan permainan/ games sehingga mudah diingat. Tidak terasa waktu berjalan. Waktunya makan malam. Kebiasaan menarik masyarakat sini adalah semua orang harus hadir saat makan. Setiap orang ditunggu agar makannya bersama-sama. Akhirnya kami pun baru makan malam lewat jam 10 malam. Makanya sampai dini hari perut masih kenyang.

Oh ya, menu makanan di sini juga unik. Mereka memanfaatkan bahan-bahan alami dari sekitar. Beras merah, pisang, daun pakis, singkong, daun singkong, ubi, ikan, dan ayam. Mereka mengolah bahan-bahan tersebut dengan sangat sederhana. Sebagian besar hanya direbus dengan sedikit bumbu-bumbu. Namun, sambalnya luar biasa sedap. Kopi lokal dan teh hangat juga selalu hadir disetiap acara. Tidak heran warga di sini bisa berumur panjang dan sehat.


Di hari ke tiga kami tim tujuh serangkai dan teman-teman SM-3T bergegas menuju ke SMKN 6 lagi. Robin memulai permainan/ games dengan anak-anak SMK. Suasana heboh terlihat di tengah lapangan karena mereka bersemangat dan menikmati permainannya. Setelah games selesai dan suasana kondusif, Robin kemudian banyak memotivasi mereka tentang pentingnya bermimpi dan mewujudkan mimpi tersebut. Robin juga bercerita tentang perjuangannya mengejar impiannya. Tidak lupa kami juga memasukkan pesan-pesan moral di dalamnya.




Sementara itu, Nadia dan Nisa juga bergerak ke SD Inpres Feoria dan SDK Fungapanda. Mereka berangkat lebih dulu karena siswa di sana telah menunggu mereka. Mereka mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan gosok gigi. Mereka memulainya dengan games interaktif dengan para siswa dan bernyanyi bersama. Sangat menyenangkan.




Kemudian kami yang tertinggal dari SMKN 6 juga datang mengunjungi SD Inpres Feoria dan SDK Fungapanda. Di SD Inpres Feoria kami disuguhkan pemandangan mengharukan. Bangunan sekolahnya tanpa lantai dan berjendela bilah bambu. Tidak ada bel sekolah, kamar mandi, kantin apalagi pekarangan berbunga. Jumlah keseluruhan siswanya juga hanya 29 orang. Banyak siswanya yang tidak beralas kaki dan berbaju lusuh. Hal yang sangat menyentuh adalah saat mereka bernyanyi “Terimakasih Guruku” untuk kami. Saya pribadi rasanya tidak kuat menahan air mata. Kekompakkan dan lantangnya suara mereka serta sinar mata yang tajam menyiratkan semangat mereka. Semangat untuk terus belajar dan bermimpi akan hidup yang lebih baik.







Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke SDK Fungapanda ditemani oleh hujan rintik. Perjalanan panjang berjalan kaki walau melelahkan kami lalui dengan semangat. Setelah sekitar setengah jam perjalanan kami akhirnya tiba di SDK Fungapanda. Di sekolah ini, bangunan sekolahnya sudah sangat baik. Para siswanya pun sudah berseragam semua. Sementara tim lain berinteraksi dengan anak-anak, saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Bapak Musalaki (Kepala Adat) Fungapanda. Beliau banyak bercerita tentang keadaan desa dan warganya. Beliau juga menyampaikan bahwa sulit sekali untuk mendapatkan informasi akurat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Demikian juga dengan hasil panen yang dibeli murah oleh tengkulak. Walaupun sudah berumur tua, namun beliau masih memikirkan masa depan warganya.


Hari itu kami mendapatkan banyak pengalaman berharga. Betapa kami harus banyak bersyukur atas kesempatan mengunjungi mereka. Mereka yang terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka anak-anak bangsa yang tanpa lelah berjalan kaki 4-6 KM untuk sampai ke sekolah. Mereka yang tidak beralas kaki, berbaju lusuh, dan berbau lumpur. Mereka yang tidak mengenal bel sekolah, perpustakaan apalagi laboratorium. Mereka yang semangat dengan penuh keterbatasan. Mereka juga berhak atas mimpi dan cita-cita pendidikan yang lebih baik.

Malam harinya adalah malam kedua sekaligus terakhir kami di Kampung Wolobheto. Kembali setelah mengajar anak-anak Bahasa Inggris kami bertukar pikiran dan semacam malam perpisahan dengan warga sekitar. Mereka mengucapkan rasa terimakasihnya kepada kami yang telah berkunjung ke sana. Kami pun berterimakasih atas sambutan yang luar biasa dan sudah dianggap seperti kelurga bagi mereka.

Kami bersama-sama merencanakan untuk membuat perpustakaan desa. Lebih jauhnya perpustakaan ini bisa menjadi pusat informasi warga. Hal ini terinspirasi dari semangat anak-anak untuk belajar dan hausnya para warga akan informasi. Saat ini tim tujuh serangkai baru memulai untuk menyebar poster kepada semua pihak yang ingin menyumbangkan bukunya. Kemudian untuk tekhnis pengelolaan akan dibantu oleh teman-teman SM-3T Ende. Kami dari tim tujuh serangkai berharap perpustakaan ini menjadi kepanjangan kasih sayang kami kepada keluarga baru di sana.

Hari selanjutnya kami, teman-teman SM-3T, dan sebagian warga bersama-sama menuju Danau Kelimutu. Danau yang terkenal di mancanegara karena keunikan airnya yang berubah-rubah warna. Syukur tidak henti kami ucapkan. Dulu hanya bisa menatap danau ini di pecahan uang lima ribu rupiah, tapi kini bisa menatapnya langsung.



Memang benar kata pepatah “Indonesia adalah negara yang bisa membuat kita jatuh cinta dan patah hati di waktu yang sama”. Jatuh cinta karena keindahannya dan patah hati karena harus meninggalkannya untuk pergi ke rutinitas semula.

Kegiatan Menyapa Negeriku Ende walaupun hanya satu minggu tapi memberikan kesan yang tidak terlupakan. Teman-teman baru yang berprestasi, keluarga baru, kesempatan berbagi inspirasi dan pengalaman, hingga pelajaran untuk selalu bersyukur dan tidak banyak mengeluh. Indonesia adalah negara yang sangat istimewa dari keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Namun, setiap dari kita punya hak atas pendidikan yang lebih baik.



I LOVE INDONESIA!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Operasi Tulang Hidung Bengkok

A Long Road to Get Drivers License in NC

Self Healing dengan Menulis