Engkau Sitti Nurbaya!

Sudah lama sekali aku tidak menulis, tapi kali ini rasanya tidak bisa ditahan lagi. Novel Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai yang aku selesaikan dalam seminggu terakhir sungguh memberi pengajaran yang mendalam dan membuat gatal kalau tidak dituangkan ke dalam tulisan.

Selama ini yang aku ketahui dari roman Sitti Nurbaya karya agung Marah Roesli ini  dikenal sebagai simbol perkawinan paksa. Perkawinan paksa antara seorang anak gadis belia umur 16 tahun dengan Datuk Maringgih yang sudah sepuh, lalim, dan lagi tamak. Tapi.. justru nilai-nilai yang aku peroleh lebih dari itu, diantaranya bukti kasih sayang dan kepatuhan seorang anak kepada orangtuanya.

Diceritakan bahwa Sitti Nurbaya sebenarnya sudah mempunyai tambatan hati, yaitu Samsulbahri. Anak laki-laki dari ayah keturunan bangsawan dan Ibu keturunan yang biasa. Nurbaya dan Samsulbahri bersahabat sejak kecil, satu sekolah, dan bahkan rumahnya bersebelahan. Sedangkan Nurbaya sendiri Ibunya sudah meninggal dunia sejak kecil dan besar dengan ayah seorang saudagar kaya. Seperti pepatah Jawa menurutku, cinta karena biasa. Nurbaya dan Samsulbahri pun merasakan kecocokan lebih dari sebagai sahabat atau saudara. Mereka merasa telah ditakdirkan untuk saling jatuh cinta dan bersama memimpikan untuk hidup bersama layaknya suami istri.

Impian mereka tersebut terbaca gamblang dari pantun-pantun yang mereka saling lemparkan:
di halaman 90 (OMG... halamannya masih aja ingat).
Nurbaya:
 "Dari Medang ke Pulau Banda,
   belajar lalu ke Bintuhan.
   Tiga bulan dikandung Bunda
   Jodohlah ada pada Tuan".

Lalu dibalas oleh Samsu:
"Anak Cina duduk menyurat,
 menyurat di atas meja batu.
 Dari dunia sampai akhirat,
 tubuh yang dua jadi satu"

So sweeeet... (Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan). Semua terasa indah saat mereka saling mengungkapkan perasaan melalui sajak berbalas-balas pantun. Ibarat roda yang terus berputar, kemesraan tersebut berlalu singkat berganti dengan kesedihan saat Samsulbahri harus meninggalkan Nurbaya untuk sekolah dokter di Pulau Jawa. Dengarlah ungkapan hati mereka:

Samsu: "Kapal kembali dari Jawa,
              masuk kuala Inderagiri.
              Tinggallah Adik tinggalah nyawa,
              besok kakanda akan pergi"

Nurbaya: "Berbunyi gendang di Pauh
                 orang menari di halaman.
                 Sungguh kakanda berjalan jauh,
                 hilang dimata di hati jangan"

Samsu: "Jika hari, hari Jumat,
              haji memakai baju jubah.
              walaupun Ahad akan kiamat,
              cinta di hati janganlah berubah".

Dibalas Nurbaya: "Jika Perak kerani Keling,
                               Berlayar tentang Tapak Tuan.
                               Putih gagak hitamlah gading,
                               tidak putus cintakan Tuan".

Dua sejoli yang sedang berbunga-bunga.

Yup, Samsu harus meninggalkan Nurbaya demi cita-cita besar menjadi dokter dimasa depannya. Nurbaya pun memaklumi hal tersebut, dia insaflah bahwa bila Samsu kelak berpangkat tinggi dan bergaji tentu dirinya akan ikut senang juga sebagai isterinya. (Nurbaya diusia 16 tahun sudah berpikiran dewasa sekali ya).

Namun ada hal penting yang mengusik Samsu kenapa dia begitu berat meninggalkan negeri Padang sekalian ayah-bunda, guru-guru, teman sekolah, dan terlebih Nurbaya. Dia pun menceritakan perkara itu ke Nurbaya bahwa sudah beberapa hari pikirannya diganggu oleh mimpi tentang Datuk Maringgih yang membawa lari kekasihnya tersebut. Nurbayapun membesarkan hati Samsu, "Janganlah engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena tiada selamanya mimpi ada artinya, bahaya apakah yang akan menimpa diri kita? sebab kita tiada berbuat dosa atau kesalahan kepada siapa pun. Apabila sesungguhnya untung kita ini malang, apa hendak dikata? karena sekaliannya itu telah takdir daripada Tuhan Yang Mahakuasa. Biar bagaimana sekalipun kita tiada suka, jika telah nasib sedemikian itu, tak dapat  diubah lagi. Siapakah yang dapat mengubah suratan pada lahulmahfuz?"

Selain Samsu, Nurbaya.. sekali ini juga telak mengingatkan aku juga.. Jodoh, rejeki, dan maut sudah ditetapkan sejak kita masih berumur 4 bulan dalam kandungan, lalu untuk apa kita membuang-buang waktu dengan bergalau ria di medsos? atau bermenye-menye Tuhan mengapa ini yang terjadi? Sekaliannya itu sudah kehendak Tuhan YME. Lagi seperti kata Nurbaya, "Oleh sebab itu, berhati-hatilah menjaga diri dan marilah pohonkan bersama-sama kepada Rabbul-alamin, supaya mudah-mudahan dipeliharakannya juga kita di dalam segala hal". Amiin.

Singkat cerita berangkatlah Samsu meninggalkan Nurbaya dengan sangat berat hati. Walaupun dia lebih suka menjaga Nurbaya di Padang namun karena janji kepada orangtua agar kelak menjadi orang, ditetapkanlah hatinya agar tegar. Pun kedua mereka telah berjanji satu sama lain untuk tetap setia. Dengarlah:

Samsu, " Tiadalah aku mencintai perempuan lain, melainkan engkau seorang. Tiada lain perempuan yang akan menjadi isteriku hanya engkaulah. Engkaulah harapanku, engkaulah mestika yang mendatangkan kesenangan dan kesentosaan atas diriku. Bila tiada engkau, haramlah bagiku perempuan lain".

Kemudian dijawab Nurbaya, "Aku pun demikian pula, Sam. Tuhan saksiku, tidak ada laki-laki di alam ini yang kucintai lain daripada engkau. Engkaulah suamiku dunia akhirat".

(Ini sudah kepada sumpah, membawa-bawa nama Tuhan).

Seperti pepatah, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Cita-cita mereka perlahan menemui hambatan. Datuk Maringgih sang sosok antagonis yang kaya namun kejam mulai menaruh dengki kepada ayahanda Nurbaya, Sutan Baringin. Sekalian itu karena Datuk Maringgih tidak suka hatinya melihat orang lain mencapai kesuksesan. Meski harta bendanya sangat banyak dan terkenal sebagai hartawan se Kota Padang, tapi hal itu tidaklah cukup baginya ketika melihat ayah Nurbaya memiliki usaha yang maju pesat.

(Susah melihat orang lain senang. Senang melihat orang lain susah. Semoga kita semua dihindarkan oleh sifat dengki ini).

Bersama dengan kaki tangannya, Datuk Maringgih menyusun rencana hendak menjatuhkan Sutan Baringin dan seluruh hartanya. Mula-mula dibakarnya semua toko dagang dan gudang ayah Nurbaya yang berjumlah tiga di pasar. Lalu di tenggelamkan kapal-kapal yang membawa barang dagangan. Belum puas, di racunlah kebun kelapa ayah Nurbaya sehingga buahnya menjadi busuk dan mati. Masih belum puas juga, dihasutnyalah semua langganan dagang beliau agar tidak mampu membayar hutang. Sebegitu kuatnya pengaruh Datuk Maringgih di Kota Padang, semua kejahatan tersebut berjalan lancar jaya dan tiada orang menaruh curiga kepadanya. Hanyalah Nurbaya menganggap ini semua janggal. Terjadi sangat cepat dan bertubi-tubi. 

Dalam masa sulit itu, Datuk Maringgih meminjamkan uang kepada Ayah Nurbaya sebanyak sepuluh ribu rupiah dengan perjanjian yang tidak diketahuinya. Disangka Sutan Baringin, Datuk Maringgihlah kawan sejatinya yang membantunya dikala kesusahan. Geraaam!!

Selang tiga bulan kemudian datanglah Datuk Maringgih hendak menagih hutang. Apalah daya Ayah Nurbaya tidak mampu mengembalikan uang pinjaman tersebut. Ayah Nurbayapun memohon kepada Datuk Maringgih agar diberi waktu lagi. Datuk Maringgih menerima permohonan tersebut dengan perjanjian bahwa jika Ayah Nurbaya tidak mampu mengembalikan pinjaman dalam sepekan maka sekalian rumah dan harta benda akan disita dan Ayah Nurbaya dimasukkan ke dalam penjara. Hanya jika Nurbaya diberikan kepadanya, maka ayahnya boleh membayar bila ada uangnya. 

Baik Nurbaya dan ayahnya sangatlah benci dengan ancaman Datuk Maringgih yang demikian itu. Sadarlah Sutan Baringin bahwa Datuk Maringgih sangat hitam hatinya dan hendak menjerumuskan dirinya. Namun, nasi telah menjadi bubur. Azab sekalian harus tetap dihadapi dengan pikiran tenang.
Berkatalah Sutan Baringin kepada anak semata wayangnya:

"Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah, tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu. Sesungguhnya aku terlebih suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada kausukai". Penggalan ucapan ayah Nurbaya.

Nurbaya menjawab dengan linangan air mata," Tidakkah cukup untuk pembayar utang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan rumah dan tanah Ayah? Karena hamba lebih suka miskin daripada jadi istri Datuk Maringgih".

Selama sepekan itu, Nurbaya mengalami pergolakan batin yang sangat berat. Tidur tak dapat, makan tak enak, dan pikiran pun kacau balau. Bagaimanakah dengan cinta dan janjinya kepada Samsu jika dia menurutkan kehendak Datuk Maringgih? Cita-citanya akan menjadi isteri dari kekasihnya Samsu akan kandas. Dan bagaimana pula dengan nasib ayahnya jika dia menurutkan hatinya kepada Samsu? Sanggupkah dia melihat ayahnya dihinakan Datuk Maringgih?

Hari yang dijanjikan tiba. Datanglah Datuk Maringgih dengan dua orang Belanda ke rumah Nurbaya.
"Bagaimana"? Tanya Datuk Maringgih.
"Tak dapat kubayar utang itu, dan anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu", Jawab Ayah Nurbaya.

To be continued...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Operasi Tulang Hidung Bengkok

A Long Road to Get Drivers License in NC

Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas